Sejarah Pendirian Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam

Menggapai Cita-cita Pendidikan di Aceh

Pada tanggal 1 Februari 1958, sebuah momen penting dalam sejarah Aceh terjadi di Aula Penguasa Perang Daerah Aceh (PEPERDA). Acara tersebut dihadiri oleh A. Hasjmy, Gubernur Aceh, Syamaun Ghaharu dari PEPERDA, serta tokoh-tokoh terkemuka Aceh lainnya. Dalam tengah-tengah konflik dan situasi sulit pada saat itu, para pemimpin Aceh berkumpul untuk membahas masa depan pendidikan di wilayah tersebut.

Pada rapat tersebut, tercapai kesepakatan untuk mendirikan sebuah "pusat pendidikan" di ibu kota Daerah Istimewa Aceh. Inilah awal dari pendirian Kota Pelajar dan Mahasiswa Darussalam, yang dikenal sebagai Kopelma Darussalam. Upaya ini dilakukan melalui pembentukan berbagai badan pelaksana, seperti Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA) dan Komisi Pencipta Kopelma Darussalam (KPKD). Meskipun Aceh sedang dilanda konflik, para pemimpin ini berkomitmen untuk mengembangkan sektor pendidikan di wilayah tersebut.

Puncak pembangunan Kopelma Darussalam terjadi pada tanggal 17 Agustus 1958, ketika batu pertama tugu "Kopelma Darussalam" diletakkan oleh Menteri Agama Mohd Ilyas atas nama Pemerintah Pusat. Setelah peresmian tugu tersebut, pada tanggal 2 September 1959, Kopelma Darussalam secara resmi dibuka dengan peresmian Fakultas Ekonomi sebagai fakultas pertama yang didirikan di sana. Fakultas ini kemudian menjadi bagian dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).

Ali Hasyimy, sebagai tokoh penting dalam pendirian Kopelma Darussalam, juga memutuskan tanggal 2 September sebagai "Hari Pendidikan Daerah Istimewa Aceh" (Hardikda). Hal ini ditetapkan dalam SK Gubernur Aceh tanggal 5 Oktober 1960 No. 90/1960. Hardikda menjadi perayaan tahunan yang merayakan pencapaian dan pentingnya pendidikan di Aceh.

Pada saat yang hampir bersamaan, A. Hasjmy mengusulkan pendirian Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry di lingkungan Kopelma Darussalam, sebagai perguruan tinggi agama Islam pertama di Banda Aceh. Namun, usulan ini mengalami kendala akibat situasi perang yang mempengaruhi perencanaan tersebut.

Dalam rangka mewujudkan visi pendidikan yang lebih luas, A. Hasjmy memohon kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan Universitas Islam Negeri (UIN) di Aceh. Hal ini menghasilkan SK Menteri Agama No.48/1959 tanggal 1 November 1959, yang menjadikan UIN Aceh sebagai cabang IAIN Yogyakarta di bawah Departemen Agama.

Namun, pengembangan pendidikan di Aceh tidak berhenti pada Unsyiah dan UIN saja. Dalam upaya untuk mengisi celah pendidikan yang belum terpenuhi, Dayah Manyang Teungku Chik Pante Kulu (DMTCPK) didirikan di bawah prinsip sistem pendidikan dayah. Ini bertujuan untuk menghasilkan ulama-ulama Islam yang memiliki ilmu pengetahuan dan menjadi teladan bagi umat manusia.

Setelah peresmian DMTCPK pada tanggal 31 Agustus 1968, institusi ini mengadopsi kurikulum yang mencakup studi ilmu agama selama lima tahun. Namun, perjalanan DMTCPK tidak selalu lancar, dan beberapa perubahan kurikulum diterapkan sesuai dengan perkembangan hingga berdirilah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) dibawah Yayasan Teungku Chik Pante Kulu.

Meskipun sejumlah pencapaian telah diraih dalam bidang pendidikan di Aceh, masih terdapat sejumlah tantangan. Persoalan administrasi, kepemilikan lahan, dan tapal batas antara berbagai institusi pendidikan menjadi isu yang perlu diatasi. Diskusi publik pada tahun 2018 mencoba untuk mengatasi masalah-masalah ini dan menghidupkan kembali semangat cita-cita pendiri Kopelma Darussalam.

Dalam upaya memperkuat sejarah dan menghormati upaya para pendahulu, disarankan agar Pemerintah Aceh membentuk badan pengelola untuk memfasilitasi penyelesaian masalah administratif dan lahan, serta menjaga warisan dan cita-cita dari pendirian Kopelma Darussalam. Dengan langkah-langkah ini, harapan generasi mendatang dapat diteruskan melalui perwujudan visi pendidikan yang telah dicanangkan oleh para pendiri.

Referesi Dr. Jamaluddin, MA dikutip dari situs suaradarussalam.id